Kemunculan Tren Baru Dunia E-Commerce: Social-Commerce

Maulana Ilham
GizaLab
Published in
7 min readFeb 9, 2022

--

Image taken from Simone Riva

Social commerce merupakan pengalaman berbelanja di media sosial meliputi promosi, menjual, dan melakukan akad pembelian sesuatu. Masyarakat Indonesia bahkan lebih mengenal terlebih dulu social commerce sebelum e-commerce. Adopsi social commerce menjadi sangat populer di Indonesia karena biaya pengiriman dianggap lebih murah (segmen hyperlocal) dan hemat kuota internet.

Keunggulan lainnya social commerce dibandingkan e-commerce adalah praktis karena tidak perlu menginstal aplikasi khusus (dijalankan secara web based), lebih personal karena calon pembeli dapat bertanya-tanya mengenai produk yang dijual dan pendaftaran akunnya gratis. Lebih lanjut Anda bisa melihat perbedaan seputar e-commerce dan social commerce pada tabel berikut:

Olah data dari Mucho.Asia

Pada e-commerce, ruang interaksi antara penjual dan pembeli masih perlu difasilitasi oleh platform penyedia layanan, sementara pada social commerce transaksi dapat langsung terjadi secara spontan dan fleksibel di media sosial manapun bahkan luring sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang lebih intim antara penjual dan pembeli. Fleksibilitas ini sangat cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang mobile first dan terlibat aktif di komunitas mereka.

Para penjual biasanya akan memulai dengan menawarkan barang dagangannya lewat unggahan foto atau video di forum lapak jual beli di berbagai sosial media mereka seperti facebook, twitter, instagram, whatsApp, OLX hingga ke forum lokal seperti kaskus. Mencermati perilaku ini, beberapa platform media sosial besar seperti facebook dan instagram mengeluarkan fitur teranyar facebook shops dan instagram shops untuk memudahkan pembeli dalam melakukan pencarian barang atau jasa yang diunggah penjual. Lalu media sosial yang digemari kalangan milenial sekarang, TikTok, meluncurkan fitur Tiktok shop yang memungkinkan influencer/key opinion leader mempromosikan produk melalui profil mereka dan menikmati komisi penjualannya.

Bila calon pembeli tertarik dengan barang atau jasa yang ditawarkan, kemudian mereka akan menghubungi penjual secara langsung melalui kontak personal atau lewat diskusi grup untuk menanyakan kembali spesifikasi barang atau ketersediaannya. Bila terjadi kesepakatan, maka transaksi akan berlanjut ke metode pembayaran yang telah disiapkan penjual. Dapat melalui perantara seperti e-commerce atau tanpa perantara seperti direct bank transfer dan cash on delivery.

Potensi Social Commerce

Pertumbuhan Social Commerce Global, Olah data dari World Economic Forum

Social commerce memiliki potensi skala global untuk mengubah wajah permainan commerce. Dilansir dari World Economic Forum (2021), nilai perdagangan kotor (GMV) social commerce akan tumbuh $492 miliar pada tahun 2021 menjadi $1,2 triliun pada tahun 2025, tiga kali lebih cepat dari pertumbuhan e-commerce global.

Mengikuti prediksi tersebut saat ini tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) social commerce di negara-negara berkembang seperti India, Brasil dan Tiongkok diprediksi akan bertumbuh lebih dari 20%. Sinyalemen dinamika tren ini dapat menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan kembali strategi pemasaran mereka di pasaran global sekaligus menjadi tantangan bagi interaction designer untuk meningkatkan engagement rate dan mempertahankan kepuasan untuk platform commerce mereka.

Tren social commerce terjadi juga di Indonesia

Di Indonesia, social commerce sudah populer karena infiltrasi media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan lain-lain. Sebagai catatan dari survey We Are Social, Indonesia menjadi rumah bagi pengguna aktif media sebesar 170 juta atau 61,8% dari total populasi penduduk dan diperkirakan akan terus bertumbuh seiring meningkatnya pengguna internet Indonesia dari tahun ke tahun.

Dengan melihat signifikansi pengguna media sosial Indonesia, tidak sulit untuk membayangkan Indonesia sebagai ceruk potensial tumbuh suburnya social commerce.

GMV Social Commerce di Indonesia, Olah data dari Statista (2021)

Tren ini mengindikasikan pergeseran era e-commerce tradisional menuju social commerce dalam jangka panjang.

Berdasarkan data yang dilansir dari peneliti statista, Hanadian Kristi Nurhayati-Wolff mengungkap bahwa dari tahun 2018, Gross Merchandise Value (GMV) atau nilai transaksi bruto dari social commerce di Indonesia terus meningkat secara konstan hingga puncaknya pada tahun 2022 diperkirakan nilai perdagangan akan menyentuh angka 25 juta Dollar atau sekitar 350 Miliar Rupiah.

GMV E-Commerce di Indonesia, Olah data dari Tempo dan Katadata

Tren sebaliknya justru terjadi pada e-commerce tradisional. Meskipun nilai GMV e-commerce Indonesia pada tahun 2021 mampu menembus US$ 40 miliar, lebih digdaya dibanding nilai social commerce yang hanya di bawah US$ 25 miliar, namun bila dilihat dari tren sejak 2018 pertumbuhan GMV ecommerce terus melorot hingga -27,5%. Sebaliknya pertumbuhan GMV social commerce terus melesat positif hingga 55,3% pada basis tahun yang sama. Tren ini mengindikasikan pergeseran era e-commerce tradisional menuju social commerce dalam jangka panjang di Indonesia.

Momentum Take-off bagi Kota tier 2, 3 dan 4

Statistik Tier Kota di Indonesia, Olah data dari Alpha JWC

Studi dari Alpha JWC bekerja sama dengan konsultan global Kearney dan sejumlah mitra ternama melakukan survey terhadap kota dan kabupaten tier 1, 2, 3 dan 4 Indonesia.

Kota tier 1:

  • DKI Jakarta, Jakarta
  • Kota Bandung, Jawa Barat
  • Kota Surabaya, Jawa Timur

Kota tier 2:

  • Kota Semarang, Jawa Tengah
  • Kota Makassar, Sulawesi Selatan
  • Kota Denpasar, Bali

Kota tier 3:

  • Kota Magelang, Jawa Tengah
  • Kota Prabumulih, Sumatera Selatan
  • Kabupaten Bangli, Bali

Kota tier 4:

  • Kabupaten Jepara, Jawa Tengah
  • Kota Jayapura, Papua Barat
  • Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah

Kota-kota pada tier 2 & 3 diprediksi mengalahkan pertumbuhan ekonomi kota tier 1 dengan kenaikan kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto nasional sejumlah 3 hingga 5% menjelang tahun 2030 (46 hingga 77 miliar dollar amerika) di 2030, sementara Jakarta, sebagai kontributor utama PDB saat ini (24%), akan turun 5 hingga 6% nantinya mengimbangi pertumbuhan daerah lain.

Menurut prakiraan, adopsi gaya hidup digital di tier 2 dan 3 bakal meningkat di 2025. Hal ini didorong oleh semangat pemerintah dalam pemerataan pengembangan infrastruktur di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan provinsi di Indonesia Timur lainnya dan juga dan juga tak kalah penting adalah peran dari enabler teknologi seperti e-commerce, pinjaman digital and e-payments.

Startup Social Commerce Mulai Bergerak

Managing partner di AC Ventures, Adrian Li menjelaskan bahwa pertumbuhan e-commerce khususnya yang berfokus pada kebutuhan sehari-hari tergolong besar, terutama di kota tier dua dan tiga. Sejalan dengan pengamatan tersebut, sejumlah startup social commerce yang bergerak dalam pasar FMCG dan kebutuhan rumah tangga memutuskan melebarkan pengaruhnya ke kota-kota non metropolitan dengan menggandeng pemodal ventura. Dilansir dari Dailysocial, KitaBeli mendapatkan USD 10 juta dari Go-Ventures pada Maret 2021, Super mengantongi USD 28 juta dari SoftBank April 2021, dan Evermos mengumpulkan USD 30 juta dari UOB Venture Management pada September 2021.

Olah data dari berbagai sumber
  • *Reseller/Dropship: Reseller membeli dengan harga grosir dan menjual kembali ke konsumen akhir (keuntungan margin).
  • *Social group buy: Pembeli membeli dengan mengajak orang lain (mendapatkan komisi penjualan atau harga yang lebih murah).
  • *Community group buy: Pembeli bergabung dan membeli bersama dengan sekelompok orang; barang akan dikirimkan ke pemimpin grup/agen yang mengumpulkan pesanan dan melakukan pengiriman

Selain memanfaatkan potensi daerah, Kebijakan strategis memperluas pasar ke kota non metropolitan juga diambil dengan melihat beberapa fakta penting lainnya sebagai berikut seperti yang dilansir KrASIA:

  1. Sebagian besar konsumen di kota-kota kecil memulai perjalanan belanja online mereka di platform media sosial seperti Facebook Marketplace atau grup WhatsApp, di mana mereka dapat dengan mudah menjangkau penjual yang tinggal di sekitar dan menawarkan pilihan produk hyperlocal.
  2. Biaya akuisisi pelanggan makin melonjak di daerah tier 1, khususnya wilayah Jabodetabek membuat pebisnis berpikir untuk mencari peluang di daerah lain.
  3. Produk harian seringkali lebih mahal di daerah pedesaan dibandingkan dengan kota tier 1 karena kondisi jalan yang buruk di seluruh negeri dan biaya rantai pasokan.

Tantangan Merancang User Experience Untuk Masyarakat Non Digital Savvy

Masih menurut studi Alpha JWC dan mitranya, sebanyak 80% dari total populasi di area non-metropolitan merupakan segmen yang terlambat mengadopsi teknologi (laggards) bahkan tertinggal 4 tahun di belakang kota tier 1. Rendahnya awareness digital di tier 2 dan 3 disebabkan oleh sejumlah faktor:

  • 53% responden mengaku sulit menggunakan layanan,
  • 44% responden menyebut faktor harga dan promosi,
  • 41% terkait ketersediaan produk

Diantara faktor-faktor tersebut, Kesulitan menggunakan layanan merupakan hal yang mesti diwaspadai pengembang khususnya para designer untuk mengantisipasi kesulitan yang mungkin akan dialami pengguna, khususnya yang berasal dari kalangan non digital savvy.

Peringkat faktor hambatan adopsi digital, Olah data dari Alpha JWC

Pendekatan pada masyarakat akan menjadi efektif bila diterapkan menggunakan prinsip human-centered design yang menekankan pentingnya pemahaman pada emosi, pikiran dan perilaku manusia.

Lebih lanjut lagi, penelitian menyebutkan bahwa responden yang berasal dari Pulau Jawa menjadikan kemudahan penggunaan (Ease of Use) sebagai faktor paling utama untuk mengadopsi aktivitas digital dibanding faktor-faktor lain yang diujikan. Hal ini akan mempengaruhi performa penyedia layanan dalam mengakuisisi pengguna baru dan bagaimana penyedia layanan dapat membawa nilai tambah bagi mereka.

Alih-alih memperlakukan mereka seperti masyarakat metro, Wilayah geografis Indonesia melintang luas dengan berbagai keanekaragaman demografis seperti budaya, bahasa, norma sosial, hingga pendidikan yang berbeda dengan penduduk metropolitan akan mempengaruhi daya adopsi mereka terhadap layanan. Oleh karenanya perusahaan perlu mempertimbangkan pendekatan yang tepat terhadap target pasar dengan menggali wawasan seperti:

  • Memahami kebutuhan, tantangan, kesulitan mereka, terutama dalam hal adopsi teknologi
  • Mengetahui ekspektasi mereka terhadap layanan
  • Mengkaji product-market fit

Perlu diingat bahwa riset akan menjadi efektif bila dilakukan dengan pendekatan yang tepat. Pendekatan pemasaran tradisional tidak akan menjawab apapun karena cenderung memandang pengguna sebagai objek bisnis semata dibandingkan berperan layaknya seperti teman yang berusaha melayani kebutuhan mereka. Pendekatan pada masyarakat akan menjadi efektif bila diterapkan menggunakan prinsip human-centered design yang menekankan pentingnya pemahaman pada emosi, pikiran dan perilaku manusia.

Keberhasilan penerapan prinsip ini hanya dapat dicapai melalui pengetahuan mengenai psikologi masyarakat, mental model, dan pengalaman dalam mengembangkan layanan berbasis pada kearifan lokal. Dengan demikian perusahaan perlu membuka diri terhadap aturan main baru dengan memusatkan perhatian kepada kebutuhan masyarakat.

Penutup
Perlu bantuan untuk mencari insights dan evaluasi produk digital Anda? Hubungi kami di info@gizalab.co

--

--

Maulana Ilham
GizaLab

Just another blog for achieving my dream job :D (Maybe a bit clumsy, but you got the message, right?)